Kebanyakan mahasiswa Indonesia jiper, bete, atau ogah mendengar kata “penelitian” atau “skripsi” meskipun menulis skripsi masih menjadi satu syarat mendapatkan gelar sarjana. Mengapa?
Ada beberapa hal yang ditengarai menjadi penyebabnya. Pertama, kurangnya praktek menulis secara ilmiah di jenjang pendidikan sebelumnya: di SMA dan SMP.
Kurikulum nasional SMA dan SMP tidak membentuk siswa-siswa yang mampu berpikir dan menulis secara kritis karena metode menghafal yang ditekankan oleh para guru. Kedua, rendahnya minat baca para mahasiswa, yang bila dirunut ke belakang dapat bersumber dari pembiasaan menghafal selama jenjang pendidikan terdahulu, dan kultur membaca yang rendah di dalam keluarga.
“Boro-boro nulis, baca aja jarang, apalagi bacaan ilmiah, apaan tuh?”
mungkin itulah yang sering terungkap dari mahasiswa kita. Ketiga, kebiasaan ingin segala sesuatu dilakukan secara cepat, mudah dan instan yang selama lebih dari satu dekade terakhir mulai menjadi nilai baru yang diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat kita, termasuk para mahasiswa.
Menulis skripsi yang membutuhkan proses dan ketekunan bukanlah hal yang mudah dan instan, maka menjadi ‘momok’ bagi para mahasiswa. Padahal skripsi masih menjadi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana. Karena ‘momok’ harus menulis skripsi ini, banyak mahasiswa yang membuat skripsi asal jadi, menjiplak skripsi orang lain, atau minta orang lain membuatkan skripsi untuknya. Banyak pula yang menghabiskan waktu tahunan hanya untuk menulis skripsi.
Faktanya membuat penelitian dan menulis skripsi tidaklah sesulit yang dibayangkan asalkan tahu kiat atau caranya.
0 comments:
Post a Comment